MERANTI (POG) - Kegiatan pembabatan kayu bakau yang dilakukan masyarakat akhir-akhir ini menjadi penyebab utama terjadinya kerusakan hutan mangrove di sejumlah kawasan di Kepuluan Meranti.
Kerusakan itu juga akan menimbulkan berbagai bencana . Mulai dari punahnya biota laut dan berbagai jenis biota laut lainnya, juga kerusakan lingkungan yang mengakibatkan abrasi.
Kerusakan lingkungan khususnya pada hutan mangrove yang ada di Meranti, terjadi akibat ketergantungan masyarakat maupun pungusaha atas kebutuhan kayu bakau yang dijadikan sebagai sumber mata pencaharian dan juga komoditi ekspor.
Selain untuk kegiatan perdagangan antar negara itu, kayu Bakau juga masih menjadi material bangunan dalam kegiatan pembangunan gedung-gedung bertingkat.
"Tentu saja semua itu mengakibatkan kerusakan hutan mangrove yang terjadi secara berkesinambungan," ungkap Ketua DPC Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) Kabupaten Kepulauan Meranti, Wan Amiruddin, kepada sejumlah awak media di Selatpanjang.
Minimnya sarana dan prasarana untuk berusaha di bidang lainnya juga menjadi salah satu kendala masyarakat untuk melepaskan ketergantungan pada bahan baku kayu mangrove itu.
Kerusakan lingkungan seperti ancaman Abrasi yang terjadi di berbagai titik di Meranti. Dan upaya yang sudah diterapkan secara tradisional maupun konvensional, sejauh ini masih belum memberikan hasil.
Untuk itu pemerintah mesti membuat aturan, atau paling tidak untuk mengurangi dampak kerusakan yang akan terus terjadi itu. Sebab kerusakan lingkungan yang terjadi sejak lama telah dirasakan dampak buruknya. Salah satu bukti nyata akibat keserakahan masyarakat di masa lalu adalah terjadinya abrasi yang hebat.
Selain itu, populasi ikan dan biota laut lainnya sejauh ini juga sudah sangat jauh berkurang, dibanding kondisi laut kita 10 atau 20 tahun sebelumnya.
"Jadi kita berharap ada regulasi yang tegas dari pemerintah, sehingga hutan mangrove yang tersisa saat ini bisa terselamatkan,"pintanya.
Ditambahkannya, akibat kerusakan lingkungan yang terjadi di Meranti saat ini, masa depan para nelayan juga sudah kian terancam. Untuk itulah kita berharap bagi pemerintah yang mengatur berbagai sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara itu dapat menyelamatkan daerah dan masyarakat dari berbagai ancaman itu.
Dengan aturan yang ada tentu tidak akan terjadi lagi sembarangan penebangan kayu hutan mangrove. Itu bukan berarti tidak boleh ditebang, tapi perlu ada aturan yang jelas, mulai dri lokasi penebangan dan diameter yang diizinkan.
"Kalau toh belum ada retribusi yang akan masuk ke kas daerah atau negara dari kegiatan ekploitasi kayu bakau itu, terserahlah. Tapi yang pasti intensitas kerusakan itu akan bisa berkurang jika ada aturan," terang Wan Amiruddin.*