Tingginya
sekitar 30 cm, dengan warna-warni bunga yang cerah. Namun, bagaimana
seandainya ada anggrek yang beratnya bisa mencapai satu ton dan
tingginya sekitar tiga meter?
Anggrek tebu atau nama latin Grammatophyllum speciosum
memiliki diameter malai sekitar 1,5 hingga 2 cm. Bagi warga Bandung
yang ingin melihat anggrek tebu ini, bisa mengunjungi The Green Forest
Resort di Jalan Sersan Bajuri No. 102 Cihideung, Bandung.
Dalam
pameran anggrek tersebut, terdapat 10 pot anggrek tebu milik kolektor
bunga dari Bandung, Endrico Felder. Kolektor yang telah menyukai bunga
sejak SMP ini menuturkan, lebih fokus pada bunga anggrek spesies atau
anggrek hutan seperti anggrek tebu ini.
"Saya suka mendaki
gunung. Nah, saat mendaki itu lah saya mengambil anggrek hutan yang
letaknya berada di pucuk pohon-pohon tinggi hutan tropis," ujar Endrico.
Anggrek hutan sangat mudah dijumpai di kawasan Asia Tenggara.
Endrico mengatakan, beberapa daerah di Indonesia pun banyak ditemukan
anggrek hutan, seperti di Kalimantan, Sulawesi, Jawa, Sumatera, dan
Papua.
Karena habitat anggrek hutan ini berada di pucuk
pohon-pohon yang tingginya puluhan meter, tentu untuk mengambilnya pun
dibutuhkan peralatan yang memadai. "Cara mengambilnya menggunakan alat
panjat. Memang beresiko, tapi di situlah letak seninya," ujar pria
berusia 56 tahun itu.
Endrico biasanya mengambil anak-anak
anggrek sebanyak dua hingga tiga batang untuk dikembangbiakkan. Setelah
itu, seluruh kondisi (tempat baru) yang dibutuhkan anggrek agar bisa
cepat beradaptasi, disesuaikan dengan habitat aslinya.
"Agar
anggrek hutan ini bisa tumbuh di daerah lain. Kita perlu menyesuaikan
keadaan seperti di habitatnya, seperti ketinggian, kelembapan, dan
eksponen hydrogen (PH) media tanamnya," papar Endrico.
Setelah
mampu beradaptasi dan nyaman dengan lingkungan barunya, anggrek hutan
biasanya paling cepat akan berbunga dalam jangka 4,5 tahun. "Kalau dia
sudah sesuai dan nyaman, dia bisa berbunga satu atau dua tahun sekai,"
ujarnya. Di rumahnya, Endrico memiliki 25 pot anggrek tebu yang
diperoleh dari berbagai daerah, termasuk di luar Indonesia yakni
Filipina dan Malaysia.
Endrico mengakui, memang tidak mudah
membuat kondisi yang serupa dengan habitat anggrek hutan. Bahkan, ia
kerap kali mengalami kegagalan saat mengembangbiakkannya. "Kalau yang
saya kembangkan ini, ada yang baru bisa beradaptasi sampai 7 tahun,"
ucapnya.
Endrico mengakui, ia belajar sendiri dalam
mengembangbiakkan anggrek hutan. Berbagai refrensi baik literatur maupun
bertanya pada orang-orang pun ia lakoni.
"Soalnya latar belakang
saya kan IT, jadi enggak punya ilmu sama sekali tentang bunga. Cuma
saya memang sudah suka bunga dari SMP," kata konsultan professional mal
itu. Endrico mengatakan, hal yang salah kerap kali dilakukan oleh
pecinta anggrek spesies, yakni bertanya pada pihak yang tidak paham
tentang perawatan bunga langka tersebut.
Endrico menjelaskan,
media tanam anggrek hutan bisa menggunakan arang, humus, dan pakis.
Namun, tidak bisa menggunakan tanah karena anggrek hutan tidak tumbuh di
tanah. Apalagi kalau pakai pupuk kandang, dia semakin lama berbunganya
karena makin lama lagi menyesuaikan diri.
"Merawat anggrek ini
tidak susah, tapi hanya mahal. Kebanyakan orang yang merawat anggrek
spesies, konsultasi pada pihak yang salah. Kalau kolektor atau pecinta
anggrek spesies itu orangnya harus mau ke luar masuk hutan untuk melihat
bagaimana habitat asli dari bunga tersebut," ujarnya.
Anggrek
tebu hanya memiliki satu macam jenis. Namun, warnanya memang berbeda di
tiap daerah. Anggrek hutan di Indonesia Timur warnanya lebih cerah,
yakni cokelat kemerahan, tapi bunganya lebih kecil dibandingkan anggrek
di Jawa. "Kalau di Jawa itu bunganya lebih besar, tapi memang warnanya
gelap. Mungkin karena faktor matahari, jadi fotosintesisnya lebih
tinggi," ujarnya.
Saat ditanya perihal perkawinan silang anggrek
corak terang dengan gelap, Endrico mengatakan, ia pernah melakukan
persilangan tersebut. "Memang hasilnya jadi bagus ya. Tapi, bagi para
pecinta anggrek spesies, keaslian bunga itu sangat diutamakan,"
tuturnya.
Botanical Garden Indonesia
Di pandangan beberapa
orang, kolektor adalah seseorang yang melakukan perdagangan dengan
jual-beli harga fantastis. Namun, Endrico tidak sependapat dengan hal
itu. Baginya, bila sudah bicara soal anggrek hutan, ia tak ingin bicara
soal angka. "Kalau bunga anggrek ini dijual, nanti di hutan habis,"
ucapnya.
Endrico mengatakan, ia dan rekan-rekan kolektor anggrek
hutan lainnya memiliki prinsip, bila mereka harus mengembalikan anggrek
tersebut ke asalnya. Setelah dikembangkan di tempat tinggal
masing-masing, mereka hanya mengambil satu anggrek untuk dikembangkan
lagi, sisanya dikembalikan ke hutan.
"Jadi, puluhan pot di rumah
saya itu hasil perkembangbiakan saja. Di sini prinsip yang kami
tanamkan pada diri masing-masing adalah mengembangbiakkan bunga, bukan
menghabiskan," ujarnya.
Lantas, untuk apa pameran anggrek
tersebut diadakan? Endrico menuturkan, pameran tersebut sebenarnya hanya
sebagai batu loncatan untuk membuat Botanical Garden seperti di
Singapura. Rencananya, ia dan rekan-rekan kolektor lain ingin membuat
Botanical Garden di Lembang.
"Alasannya karena kalau saya lihat
di Botanical Garden Singapura, dominannya anggrek hutan kita yang
dipajang di sana. Kenapa tidak kita sendiri yang memajangnya?,"
terangnya.
Kelak, bila Botanical Garden ini telah dibangun,
Endrico mengatakan ingin mengumpulkan para kolektor yang memiliki
anggrek spesies untuk dititipkan di Botanical Garden Indonesia, tidak
ada jual-beli. Gunanya, agar masyarakat bisa menikmati keindahan tanaman
Indonesia, dan teredukasi.
"Kolektor itu prinsipnya, saat
tanaman yang kita kembangkan sudah tumbuh, maka seluruh dunia harus
tahu. Tapi, kami tidak mau memberikan tanaman itu ke orang lain,"
jelasnya sembari tertawa.
Meskipun para kolektor memiliki dana
yang cukup untuk membuat Botanical Garden, Endrico berharap ada campur
tangan dari pemerintah untuk pembangunan tersebut. "Ya, kami juga
berharap semoga pemerintah mau ikut berpartisipasi untuk membuat
Botanical Garden ini. Kalau sudah jadi, kan Indonesia juga yang bangga,"
ucapnya. (ROL)