• Home
  • Nasional
  • Menuding Lembaga Survei, Memercik Air di Dulang...

Menuding Lembaga Survei, Memercik Air di Dulang...

Sabtu, 12 Juli 2014 16:13
BAGIKAN:
pesisirone group/inilah
Mantan Menko Ekuin dan politisi senior PDI Perjuangan Kwik Kian Gie - (Foto: istimewa)
JAKARTA, PESISIRONE.com - Lembaga-lembaga survei kembali menjadi sasaran kritik publik dan sorotan media. Pasalnya, hasil quick count sejumlah lembaga survei tidak sama. Lalu muncul prasangka dan kecurigaan. Salah siapa?

Di mana-mana, quick count tidaklah bisa dijadikan patokan kebenaran tunggal, kecuali sekedar acuan. Yang salah adalah ketika pihak-pihak tertentu, kelompok atau perorangan, mengklaim quick count itu sebagai kebenaran mutlak.

Peristiwa Rabu 9 Juli 2014, usai coblosan Pilpres, kita dikejutkan dengan statemen Megawati Soekarnoputri bahwa Jokowi-JK memenangi Pilpres berdasarkan quick count 9 Juli itu.

Sebagaimana diketahui, ada 2 pasangan capres dan cawapres, yaitu pasangan nomor urut 1 Prabowo berpasangan dengan Hatta Rajasa yang diusung Gerindra dan koalisinya serta pasangan nomor urut 2, Jokowi berpasangan dengan Jusuf Kalla.

Masalah mencuat karena tidak samanya hasil quick count dari beberapa lembaga survei .Ada yang memenangkan pasangan nomor urut 1 dan nomor urut 2. Dengan perbedaan tersebut, masing- masing kandidat sudah berada dalam euphoria terhadap kemenangannya. Keadaan ini menimbulkan kegalauan yang berpotensi memicu keributan masing- masing kandidat dan pendukungnya.

Tentu, alangkah bijaksana apabila kedua kandidat dan pendukungnya bisa menahan diri untuk merayakan kemenangannya dari hasil quick count tersebut dan menunggu hasil resmi penghitungan KPU yang rencana diumumkan tgl 22 Juli 2014.

Dalam kaitan ini, Mantan Menko Ekuin dan politisi senior PDI Perjuangan Kwik Kian Gie mengaku tidak heran jika dua pasangan calon presiden (capres) pemilu presiden (pilpres) 2014 saling mengklaim kemenangan.

Pasalnya, banyak lembaga survei yang mengalami komersialisasi/komodifikasi, tidak objektif dan hanya mencari keuntungan dalam merilis hasil surveinya. "Ini hasilnya kalau lembaga survei dipakai untuk mencari uang, dengan memainkan dan mengombang-ambing opini publik," kata Kwik.

Adanya sejumlah lembaga survei yang mengeluarkan hasil berbeda menunjukan lembaga survei telah ikut dalam dunia politik."Lembaga survei itu pekerjaan politik yang lebih politis dari parpol," kata Ahmad Muzani, Sekjen Gerindra.

Harus diakui, indikasi komersialisasi lembaga survei sudah muncul jauh sebelum pelaksanaan pemilu presiden (pilpres). Artinya, lembaga survei sudah tak steril lagi dan mengalami komoditisasi karena pilpres dan pemilu legislatif sejatinya juga sudah menjadi industri, sebagaimana proyek demokratisasi.

Karena lembaga-lembaga survei adalah bagian dari proyek demokrasi yang makin mahal, maka potensi komersialisasi dan penyalahgunaannya menjadi tinggi, dan itu suatu keniscayaan. Lalu salah siapa ini? Jelas tidak bisa hanya menyalahkan lembaga-lembaga survei, sebab pada dasarnya proyek demokrasi kita yang amat mahal, sudah digilas politik transaksional dan dibajak modal. Sehingga lembaga-lembaga survei pun menjadi bagian integral dari situasi carut-marut yang struktural ini.

Ibaratnya, kalau kita menghakimi atau menyalahkan lembaga-lembaga survei: seperti memercik air di dulang, menciprat ke muka sendiri.

Sekali lagi, haruskah lembaga survei yang jadi tertuduh, salah atau disalahkan? Jelas, para pengguna dan konsumennya juga harus ikut bertanggung jawab: parpol, politisi dan pemodal serta semua pemangku kepentingan. Seperti kata Sutrisno Bachir, mantan Ketua Umum DPP PAN, Bukankah hidup adalah perbuatan? Karena perbuatan, maka semua pemangku kepentingan harus bisa mempertangggungjawabkan.(ilc/pog)
BAGIKAN:
KOMENTAR